Salim Said lantas mencontohkan dirinya adalah aktivis sejak 1960-an. Dia biasa mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah.
Begitu pun di zamannya Soeharto atau Orde Baru. Semuanya aman-aman saja, artinya tidak ditangkap.
“Selama Orba saya aman-aman saja, yang berkuasa itu Pak Harto. Jadi kalau kepentingan Pak Harto tidak kita (Salim Said) singgung-singgung maka kita relatif aman, itu sebabnya banyak tulisan saya di zaman orde baru sebagian sudah diterbitkan dalam bentuk buku.”
“Orang tanya berani amat? Saya bilang saya tidak mengkritik orang berkuasa, kadang-kadang menyindir sedikit dan orang yang berkuasa itu tidak melihat saya sebagai ancaman,” bebernya.
Kondisi itu berbeda di masa Jokowi saat ini. Karena tidak punya partai, Jokowi tergantung pada sejumlah orang yang beramai-ramai mendukungnya dan karena itu mereka berharap keuntungan.
Nah kalau orang-orang ini merasa terganggu, merasa keuntungannya terganggu bisa mempersoalkan orang-orang yang kritis dan mengadukannya ke polisi atau menyerang dengan buzzer.
Hal ini membuat orang merasa tidak aman, seperti yang dialami Kwik Kian Gie, padahal maksudnya baik.
“Yang merepotkan itu orang lain yang kepentingannya merasa terganggu, mereka yang menyusahkan kita (masyarakat), bukan Pak Jokowi,” imbuhnya.
Hal itu menurutnya yang harus disadari Jokowi, kalau tidak ada banyak kritik masuk. Kondisi ini juga harus disadari oleh calon-calon presiden kelak yang akan menggantikannya.
Kalau tidak kuat, presiden akan dimain-mainkan oleh oligarki. Masa jabatan Jokowi, kata Salim Said, akan berakhir 2024. Orang yang mau menjadi presiden harus menyadari itu kalau dia tidak cukup kuat.