Tak bisa dimungkiri, sejumlah pertanyaan mengenai agama itu muncul karena belakangan KPK sempat dituduh berkembangnya isu radikal bahkan kerap disebut sarang Taliban.
Sejumlah pertanyaan janggal itu lantas mendapat kritik dari berbagai elemen, seperti Aliansi Gerak Perempuan dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) yangmengecam pelaksanaan tes alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pertanyaan dalam TWK dinilai diwarnai dengan pertanyaan tidak etis yang bernuansa seksis, mengandung bias agama, bias rasisme dan diskriminatif.
Anggota Gerak Perempuan, Jessica menegaskan pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak ada kaitannya dengan tugas, peran, dan tanggung jawab seorang pegawai KPK. Sehingga tidak layak ditanyakan dalam sesi wawancara.
Menurutnya, pertanyaan seperti tersebut sangat bernuansa seksis. Karena didasari oleh anggapan yang menempatkan perempuan sebatas pada fungsi dan peran organ reproduksinya dan sangat menghakimi privasi dari pegawai KPK tersebut.
“Pertanyaan dan pernyataan yang seksis ini juga menunjukkan buruknya perspektif gender dari aparatur negara. Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 28G (1) 1945 dan amandemennya mengatur setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi,” kecamnya.
Dia menuturkan, tes peralihan pegawai KPK menjadi ASN merupakan salah satu proses untuk menyaring orang-orang yang selama ini kritis terhadap kebijakan pimpinan KPK, bahkan terhadap kebijakan negara yang tidak melindungi KPK untuk membasmi koruptor.