Oputa yi Koo Pahlawan Nasional dari Tanah Buton, Begini Sejarah Perjuangannya Melawan Kolonial Belanda

  • Bagikan

Demikian Himayatuddin dan pasukannya berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan taktik gerilya.

Pusat pertahanan terakhir Himayatuddin adalah puncak Gunung Siontapina (kampung Wasuamba).

Sejak tahun 1755, tidak lama setelah perang Buton versus Belanda, Himayatuddin tinggal menetap di Siontapina sampai akhir hayatnya tahun 1776.

Menurut riwayat, pasukan Belanda berupaya menyerang Himayatuddin hingga kaki gunung Siontapina, tetapi sulit untuk mencapai puncak gunung tersebut sehingga harus mengundurkan diri dan kembali ke induk pasukan di kapalnya yang berlabuh di sekitar Kampung Kamaru.

Sultan Himayatuddin dimakamkan di puncak Gunung Siontapina. Setiap tahun, penduduk Wasuamba dan sekitarnya, merayakan upacara setelah panen di kuburan dan bekas istana Himayatuddin.

Upacara itu adalah bagian wasiat dari sultan, yang diceritakan turun temurun, bahwa “jika kamu semua sudah memungut hasil kebunmu, maka tiap tahun di tempat di mana istanaku berdiri, kamu adakan keramaian linda dan ngibi. Juga di mana kuburan kami, jangan saja di hari raya baru datang, tetapi juga pada tiap tahun selesai panen. Kemudian pada tiap kali kamu mengunjungi tempat kami untuk mengadakan keramaian, maka di atas makam kami, kamu putarkan payung kemuliaan” (Zahari 1977 II: 137).

Upaya tersebut sekaligus momen bagi masyarakat Buton mengenang semangat kepahlawanan Sultan Himayatuddin membebaskan negerinya dari kekuasaan Kompeni-Belanda.

Himayatuddin sebagaimana kalangan aristokrasi Keraton Wolio-Buton umumnya memperoleh pendidikan akhlak dan budi pekerti berlandaskan islam.

  • Bagikan