Oputa yi Koo Pahlawan Nasional dari Tanah Buton, Begini Sejarah Perjuangannya Melawan Kolonial Belanda

  • Bagikan

Dalam perjanjian pertama, kedua belah pihak beserta sekutu-sekutunya bersama-sama untuk tetap bersahabat dan selalu menjaga persahabatan serta memberi bantuan dan pertolongan untuk melawan musuh dari mana pun.

Pada perjanjian kedua, Buton harus memusnahkan seluruh rempah (cengkih dan pala) di wilayah Kesultanan Buton, dengan ganti rugi 100 rijksdaalders setiap tahun kepada Buton dan setiap membuat persahabatan dengan pihak luar dan urusan penggantian Sultan Buton harus disetujui Belanda dan Raja Ternate.

Ketentuan yang terakhir membuat Kesultanan Buton menjadi kedaulatan “semu”. Jadi, apa yang dilakukan Belanda sesungguhnya adalah untuk mengurangi kedaulatan kesultanan serta penindasan dan upaya memiskinkan rakyat Buton (Zuhdi dan Effendy 2015: 58-65).

Sultan Himayatuddin dengan tegas menyatakan tidak mau terikat dan patuh dengan semua perjanjian yang dibuat oleh pendahulunya dengan Belanda, karena tidak menguntungkan pihak Buton.

Sikap itu menyulut api permusuhan Kompeni Belanda terhadap Buton.

Dalam menjalankan pemerintahannya, Himayatuddin selalu mencari hal untuk menyatakan permusuhan dengan Belanda (Zahari 1977 II: 116).

Perompakan kapal Belanda, Rust en Werk, di Pelabuhan Baubau oleh Frans Fransz dan pengikutnya pada bulan Juli 1752 (Ligtvoet 1878: 74) memicu terjadinya perang Buton versus Kompeni Belanda. Pasalnya, Himayatuddin tidak berupaya untuk mengatasinya, dan bahkan terkesan membiarkan pelakunya berhasil melarikan diri dan membangun benteng di Pulau Kabaena. Karena itu, sultan dianggap bersalah dan harus membayar kerugian kapal dan isinya kepada VOC berupa 1.000 orang budak.

  • Bagikan

Exit mobile version