FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Potensi nikel Indonesia tampaknya menjadi salah satu incaran Uni Eropa. Maka tidak heran, saat pemerintah memperketat pengelolaan nikel dengan melakukan hilirisasi, UE bereaksi dan keberatan.
Melihat reaksi Uni Eropa terhadap wacana hilirisasi industri nikel tanah air, Direktur Executive Energy Watch (EW), Mamit Setiawan ikut angkat suara. Dia mengatakan, gugatan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) terhadap nikel Indonesia merupakan respons dari kekhawatiran Benua Eropa terhadap perkembangan industri baterai tanah air.
Menurutnya, cadangan nikel yang dimiliki Indonesia merupakan yang terbesar sehingga wajar jika negara-negara lain bergantung terhadap pasokan dari dalam negeri. Pasalnya nikel merupakan komponen utama pembuatan baterai.
“Kalau secara ekosistem betul memang karena kita kan negara penghasil nikel terbesar dan dimana saat ini nikel masih menjadi barang utama yang sebagai barang utama pembuatan baterai,” ujar Mamit, Minggu (18/12).
Mamit juga mengatakan, langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memerintahkan untuk terus melanjutkan hilirisasi serta menghentikan ekspor nikel meskipun dalam kondisi kalah di WTO membuat negara Eropa dalam keadaan sulit.
“Lewat hilirisasi ini ekosistem baterai Indonesia negara lain berharap kepada Indonesia. Betul sekali makanya mereka menggugat kita ke WTO, mereka kan dalam kesulitan ini,” ucapnya.
Selain itu, menurut Mamit, kesempatan banding yang dimiliki Indonesia di WTO harus dioptimalkan, sehingga Indonesia bisa memaksimalkan bahan mentah untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, memberikan Multiplier effect atau efek berganda bagi bangsa dan negara.