Dampak lingkungan lainnya adalah terjadi pendangkalan pantai karena tidak adanya pengelolaan pertambangan oleh perusahaan, setidaknya 11 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sebelumnya melakukan eksploitasi di Blok Mandiodo.
Selain itu tidak adanya pemeliharaan jalan umum baik dari pihak perusahaan maupun dari pihak pemerintah, membuat masyarakat lokal belum pernah merasakan jalan yang layak di desa mereka. Hal serupa juga terjadi di Desa Tapunggaya.
Sedangkan di Desa Mandiodo, Ombudsman menemukan fakta bahwa kegiatan eksploitasi dimulai sejak tahun 2007, namun tidak ada program Corporate Social Resposibilty (CSR) dari perusahaan-perusahan swasta.
“Hanya ada uang kompensasi atau biasa disebut uang debu. Terdapat kegiatan CSR ketika pihak PT. Antam Tbk mengambil alih Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) baik berupa pembangunan fisik maupun beasiswa,” terang Hery.
Masyarakat Desa Mandiodo juga berharap PT Antam Tbk dapat membuka lapangan kerja bagi warga lokal dan segera menyelesaikan tanah masyarakat yang belum dibebaskan.
Hery mengatakan, berdasarkan hasil kajian ini, pihaknya memberikan sejumlah saran kepada pihak terkait.
“Pengelolaan tambang Blok Mandiodo harus memberikan manfaat secara holistik di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan bagi warga sekitarnya. Kementerian ESDM dan PT Antam Tbk agar mengaktifkan kembali kegiatan operasional pertambangan Blok Mandiodo dengan mengevaluasi dan memperbaiki pengelolaannya sesuai prinsip-prinsip pelayanan publik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Membiarkan berhentinya operasional tambang di Blok Mandiodo berlarut-larut tentu bisa berdampak kerugian sosial ekonomi yang lebih besar lagi,” tegas Hery.