Namun, di Kabaena, pelanggaran aturan ini terlihat jelas. Tambang-tambang nikel kini mendominasi pulau, menggusur hutan, mencemari laut, dan mengubah kehidupan masyarakat setempat.
“Pulau kecil mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim dan masyarakat
yang ada di pulau kecil tak punya diversifikasi pendapatan,” kata Hayaa di Jakarta, Senin (9/9).
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.465/Menhut-II/2011 yang mengubah
status hutan di Kabaena dari hutan lindung menjadi hutan produksi membuka pintu
bagi perusahaan tambang untuk masuk.
Hingga kini, 40% dari izin usaha pertambangan yang diterbitkan di pulau ini telah beroperasi, sementara sisanya bakal menyusul.
Aktivitas pertambangan di Kabaena telah menyebabkan deforestasi besar-besaran.
Data menunjukkan sejak 2001 hingga 2022, sebanyak 3.374 hektar hutan, termasuk
24 hektar hutan lindung, telah habis digunduli Perusahaan seperti PT Anugrah
Harisma Barakah (AHB). Mereka menjadi salah satu kontributor terbesar dengan deforestasi seluas 641 hektar.
Sementara itu, PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) mencatat deforestasi sebesar 295
hektar dalam tiga tahun terakhir. TMS mengeruk hutan lindung yang menjadi sumber air utama bagi penduduk.
Kerusakan ini tidak hanya memengaruhi daratan, tetapi juga lautan. Sampel air yang
diambil dari sungai dan laut di empat titik di Kabaena mengungkapkan kandungan
logam berat seperti nikel, kadmium, dan asam sulfat yang melebihi batas aman.
Limbah tambang ini mengalir ke laut, membunuh terumbu karang dan mencemari perairan di sekitar rumah-rumah panggung suku Bajau. Di beberapa desa, air laut yang keruh menyebabkan gatal-gatal dan penyakit kulit serius di kalangan nelayan
dan anak-anak.