Perlakuan kasar tidak hanya diperuntukkan kepada budak-budak, tetapi juga terhadap bang-sawan-bangsawan Bugis yang ditawan, termasuk La Tenritatta dan keluarganya, dipekerjakan secara paksa, sebagimana halnya dengan tawanan perang lainnya.
Sementara itu, delegasi Karaeng Popo (Abdul Kadir I Mallawakkang Daeng Sisila Karaeng Popo) berlayar ke Batavia untuk berunding dengan Belanda. Atas perintah Karaeng Karunrung didatang-kan 10.000 orang Bone ke Gowa untuk menggali parit di Sebelah Utara Benteng Sombaopu ke Ujung Tanah sepanjang 2,5 mil. Parit itu adalah untuk pertahanan Gowa dari serangan Belanda jika Belanda mendaratkan serdadu-nya di kerajaan Gowa.
Rombongan orang Bone itu dipimpin oleh Tobala yang menjadi kuasa kerajaan Gowa menjalankan pemerintahan di Bone.
Kemudian Karaeng Popo selaku pimpinan utusan kerajaan Gowa pergi ke Batavia untuk merundingkan perjanjian perdamaian tersebut, sultan bersama Karaeng Karunrung giat sekali mendirikan benteng pertahanan di Mariso sebelah Utara Somba-Opu dibuat tembok dari parit yang panjangnya 2 mil.
Dimulai dari Binanga-Beru sampai ke Ujung Tanah. Atas perintah dari Karaeng Karunrung didatangkanlah 10.000 orang Bone ke Gowa untuk menggali sebuah parit yang harus memisahkan Benteng Panakukkang dari Daratan Gowa.
Penderitaan rakyat Bone dibawah dominasi kerajaan Gowa, demikian pula tawanan lainnya yang terdiri dari beberapa orang bangsawan, seperti Arung Bila Daeng Mabela, Arung Belo To Sade dan Arung Appanang, mengalami nasib yang sama. Sementara itu rakyat di Bone sendiri menderita akibat berbagai macam beban yang harus dipikul.