“kalau Laskar saya yang sepuluh ribu orang banyaknya itu sudah habis semuanya tewas, barulah saya mau menyerah”.
Sebaliknya Arung Palakka pernah berkata kepada Sultan Hasanuddin bahwa: “persolan di antara kita telah selesai, tetapi dengan itu, saudaraku dari Wajo (maksudnya La Tenrialai) saya masih harus membikin perhitungan”.
Amarah Arung Palakka dan La Tenrilai masing-masing menyimpan dendam yang mendalam. Arung Palakka yang telah berhasil mengalahkan Kerajaan Gowa kemudian menyerang Wajo tahun 1670 dan berhasil menaklukkan, dan La Tenrilai gugur akibat ledakan meriamnya sendiri.
Keberhasilan Arung Palakka menundukkan Wajo dan kerajaan-kerajaan lainnya telah menambah legalitas Arung Palakka sebagai tokoh sentral di Sulawesi Selatan.
Untuk menciptakan hidup berdampingan secara damai antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, Arung Palakka menggunakan pendekatan perkawinan. Misalnya, mengawinkan kemanakannya, La Patau Matanna Tikka, dengan puteri Sultan Gowa Abdul Jalil dengan perjanjian, bahwa putera pertama dari perkawinan itu harus akan menggantikan neneknya menjadi Raja Gowa.
Selain itu La Patau Matanna Tikka dikawinkan juga dengan Datu Luwu. Ini merupakan bahwa Arung Palakka berjuang untuk menciptakan perdamaian di Sulawesi Selatan dengan alternatif perkawinan antara puteri-puteri Luwu, Gowa dan Bone.
Sukses yang mencapai dengan pendekatan perkawinan itu bukan hanya menciptakan hidup berdampingan secara damai antara Bone, Gowa dan Luwu, akan tetapi juga Wajo, Mandar, dan lain-nya. Bahkan mewujudkan perdamaian di Sulawesi Selatan sampai dengan jatuhnya Bone di tangan Belanda tahun 1905 yang dikenal rumpa’na Bone.