Akademisi UHO ini menambahkan, adapun nilai dan makna Kamohu pada Masyarakat Desa Watarumbe, dapat terlihat seperti pada acara kegiatan adat, pesta akikah, pernikahan, pingitan, hingga acara ritual adat lainnya.
Akan tetapi, warna Sarung Tenun Kamohu yang digunakan pada umumnya berbeda-beda karena tergantung pada status sosial ataupun jabatan, didalam struktural adat itu sendiri dan hal ini berbeda dengan sarung tenun pada umumnya.
Selain itu, masih dia, salah satu syarat ditetapkan sebagai warisan tak benda sudah ada sejak 50 tahun. Adapun kain tenun ini sudah ada lebih dari abad 19 lalu. Sehingga kemungkinan pusat menganggap lengkap narasinya untuk dipertimbangkan.
Bahkan Belanda saja dalam tulusannya menyebutkan yang bisa diperdagangkan selain rempah-rempah itu adalah tenun. Berarti sudah ada sejak dulu, tuturnya.
Lulusan S3 The Australian National University Canberra ini mengungkapkan, dengan ditetapkannya Kain Tenun Kamohu asal Desa Watarumbe, Kabupaten Buton Tengah sebagai WBTB Indonesia maka Sultra telah memiliki 13 warisan budaya yang telah ditetapkan.
“Sejak Tahun 2013 hingga Tahun 2020, Provinsi Sultra memiliki 13 warisan budaya yang telah ditetapkan, yakni Tari Raigo, Kalosara, Kabanti, Lariangi, Kaghati, Mosehe, Lulo, Karia, Tari Linda, Kantola, Istana Malige Buton, Kaago-ago, dan Kamohu,” sebut Asrun.
Menurutnya, Dikbud Sultra akan terus berupaya melestarian warisan budaya tak benda nusantara, dengan terus mengusulkan Warisan Budaya Tak Benda Sultra ke Kemendikbud RI.
“Tentu kita berharap, melalui momentum ini agar setiap warisan budaya yang ada di setiap penjuru Provinsi Sultra agar tetap dijaga, dilestarikan, dan diwariskan demi anak cucu kita agar tidak hilang, terlebih tidak menjadi kebudayaan bangsa lain,” harapnya.(inikatasultra/fajar)