SULTRA.FAJAR.CO.ID, KENDARI – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Tenggara, penyebab adanya konflik antara manusia dan satwa liar akibat beralih fungsinya habibat dan hilang sumber pakan satwa liar oleh pertambangan, pemukiman penduduk.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) Sakrianto Djawie saat diwawancara oleh fajar.co.id diruangannya, Kamis (26/8).
“Tempat pakan satwa liar seperti Buaya-buaya Muara ini adalah monyet, babi hutan, ikan itu sudah tidak ada karena banyak yang sudah beralih fungsi menjadi pemukiman penduduk, lokasi pertambangan,”ungkapnya.
Lanjutnya, Kalau kita bandingkan dengan Buaya Rawa yang berada di Taman Nasional Rawa Aopa, itu jarang sekali terjadi konflik antara manusia dan satwa tersebut, karena habitatnya masih terjaga dan ketersediaan pakannya masih terjamin oleh alam.
“Tapi untuk buaya muara, rata-rata sudah rusak habitatnya,”ujarnya.
Terkait berapa jumlah populasi buaya muara di wilayah Kecamatan Morosi, Bondoala dan Kapoiala, menurutnya sampai saat ini belum ada data, karena belum ada metode inventarisasi buaya yang betul-betul jitu untuk dapat menghitung jumlah populasi buaya dalam satu wilayah.
“Beda dengan Satwa Liar Anoa, yang masih bisa kita hitung populasinya melalui jejaknya, kotorannya, beda dengan buaya yang agak rumit, karena dia kebanyakan berada dalam air dan kalaupun ada yang di darat, itu munculnya satu-satu,” bebernya.
Kata Sakrianto, Jadi sampai saat ini belum ada metode yang tepat untuk menghitung populasi satwa liar jenis buaya ini.