Berdasarkan sebuah rekening, yang dibuat di Makassar pada 30 Mei 1755, bahwa jumlah biaya ekspedisi pasukan Belanda ke Buton sebanyak 108:19½ Rijksdalder. Biaya tersebut digunakan untuk empat orang sersan, empat orang kopral, empat orang penabur dan 140 prajurit, termasuk biaya konsumsi dan kebutuhan pendukung lainnya (Zuhdi dan Effendy 2015: 76-77).
Perang Buton versus Belanda dalam ingatan kolektif masyarakat Buton disebut dengan Zamani Kaheruna Walanda atau Zaman huru-hara Belanda. Peristiwa itu digambarkan oleh sastrawan keraton Buton, La Ode Abdul Ganiyu (Kanepulu Bula), dalam karyanya Ajonga Inda Malusa (dalam Zuhdi 1999), seperti berikut:
Yinda urangoa tongko
bunkenaWalanda
Tidakkah engkau mendengar
sewaktu keributan Belanda
Apopasiki sabhara maanusia
Berhamburan semua manusia
Sumbe-sumbere apeelo palaiya Masing-masing mencari perlindungan
Apobholi-bohli yinda apotoku-toku Bercerai-berai tidak saling menolong
Hengga ana-ana miarangana abholia Sampai anak istri ditinggalkan
Inuncana koo maka apokawa-kawa Didalam hutan baru berkumpul
Mokokompona akoana yi rumpu
Ibu hamil melahirkan di rerumputan
Momapiyna soakolemo yitana
yang sakit tertidur saja di tanah
Bhontoogena samia te sapati
Menteri besar seorang dan sapati
Tee samia kapitalau amate
Tee sakia miya bari momatena
Tee torakona incana sayeyo yitu
Lakiwolio Yumane tee bawine
Tee malingu sabara mangaa nana
Aposa lapa soomo arataana dan kapitalao mati
San sekian banyak rakyat yang korban
dan yang ditangkap dalam sehari itu
Raja Wolio laki-laki dan permaisuri
dan segara anggota keluarganya
Semua luput hanyalah hartanya