Saya pernah membaca keterangan Prof Dr Din Syamsuddin, orang Sumbawa yang pernah jadi ketua umum pengurus pusat Muhammadiyah. Katanya: tidak ada alasan khusus. Menetapkan jumlah itu bisa menimbulkan perdebatan panjang. Apalagi kalau harus dikait-kaitkan dengan kekeramatan sebuah angka. Justru misi Muhammadiyah harus melakukan dekramatisasi angka. Maka dipilihlah angka 13. Sekalian jadi lambang dekramatisasi angka 13 yang dianggap sebagai angka sial.
Dan ternyata Muhammadiyah tidak pernah sial. Sudah sekian kali muktamar dengan angka itu tetap saja lancar jaya.
Kenyataannya 13 orang itu sebenarnya kurang. Pengurus pusat Muhammadiyah perlu lebih dari 20 orang. Ya ditambah saja. Yang 13 orang itu diberi wewenang untuk menambahnya.
Di Pemilu kemarin malam itu lancarnya bertambah-tambah: pakai komputer. Ini untuk kali pertama pemilihannya pakai e-voting. Memang belum sepenuhnya elektronik. Belum pakai HP masing-masing. Peserta Muktamar masih harus maju ke suatu bilik suara. Di dalam bilik itu ada komputer. Peserta tinggal klik untuk pilih siapa. Beberapa bilik disediakan di bagian depan ruang muktamar. Cepat sekali. Langsung tertabulasi. Terpilihlah 13 nama.
Acara berikutnya: 13 nama itu bersidang. Singkat sekali. Penyebabnya: salah satu dari 13 nama tersebut adalah ketua umum incumbent: Prof Dr Haedar Nashir. Maka aklamasi terjadi. Beliau terpilih kembali. Selesai.
Dengan sistem pemilu seperti itu, Muhammadiyah bisa menghindari banyak virus yang merusak organisasi. Termasuk tidak mungkin terjadi, misalnya, seseorang tokoh tiba-tiba jadi pimpinan, hanya bermodalkan popularitas atau kekuasaan.