“Disini luasnya tertera kurang lebih 3,6 hektar, dialihkan (dijual) ke Pak Paturusi, dari subyek Pak Sapena ke Pak H. Paturusi pada tanggal 17 Januari 1976,”ujarnya.
Kata Faizal, tapi memang setelah kami (H. Paturusi) memiliki tanah ini, kami (H. Paturusi) tidak pernah serifikatkan.
“Akan tetapi tiba-tiba di tahun 1996 tanah ini disertifikatkan oleh Ibu Hj. Nursiah, yang statusnya hanya berbatasan tanah sebelah utara dengan tanah milik kami. Karena habis tanahnya ia (Hj. Nursiah) jual, ia lari kesitu (ke tanah kami), dia sertifikatkan itu,”terangnya.
Lanjutnya, Ibu Nursiah ini, hanya tetangga tanah, tapi tiba-tiba dia sertifikatkan tanah kami di tahun 1996.
“Setelah kami tahu, tanah kami disertifikatkan oleh Ibu Hj. Nursiah, kami mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Kendari pada tahun 1997, dan hasilnya pada tahun 1998 kami kalah,”imbuhnya lagi.
Sambutannya, setelah proses hukum di PN Kendari selesai, kami lanjut ke Pengadilan Tinggi (PT) Kendari mengajukan banding pada tahun 1998, dan putusannya kami kembali kalah.
“Kemudian setelah kalah dalam proses banding itu, kami lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada tahun 1999, dan keluarlah pada saat itu putusan sela yang membatalkan keputusan Pengadilan Tinggi (PT), dan keputusan itu keluar pada tahun 2001,”bebernya.
Lebih lanjut, Faizal menjelaskan pada saat itu (tahun 2001), kan ada putusan sela, jadi kami menunggu putusan tetapnya (Inkrah), ternyata keluar putusan tetapnya itu, yang menolak gugatan kasasi, yang mengugurkan hasil putusan sela itu, ya posisi kami katanya kalah lagi di putusan MA itu, putusan itu pada tahun 2004.