“Pemerintah menilai, jika hal ini tidak di mitigasi, maka yang terjadi adalah perubahan iklim dapat meningkatkan risiko bencana hidro-meteorologi dan potensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66% hingga 3,45% dari total PDB serta pada tahun 2030, Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Memitigasi hal tersebut, pemerintah Indonesia melaksanakan komitmen-komitmen global dalam penanganan perubahan iklim, seperti protokol kyoto, Bali Roadmap, Copenhagen Accord, Paris Agreement, Katowice Climate Package, dan Glasgow Pacts. Konsekuensi kesepakatan ini adalah pemenuhan target penurunan emisi dan konsekuensi pembiayaan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan laju emisi sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan hingga 41%,” papar Sekda Provinsi Sultra ini.
Lulusan S3 The Australian National University of Canberra ini melanjutkan, salah satu inovasi kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah berupa kebijakan Nilai Ekonomi Karbon atau NEK (Carbon Pricing), termasuk dari karbon biru (blue carbon). NEK merupakan valuasi atas emisi/kandungan/potensi emisi GRK dan bentuk intervensi market failure dengan memanfaatkan kekuatan pasar.
“Ekosistem pesisir merupakan salah satu potensi penyerap karbon yang tidak kalah besar dibanding ekosistem hutan. Ekosistem pesisir tersebut adalah hutan mangrove dan padang lamun yang mampu menyerap karbon dari atmosfer dan lautan. Karbon yang tersimpan dalam ekosistem pesisir dikenal sebagai Blue Carbon dan ekosistemnya disebut sebagai Ekosistem Karbon Biru,”