“Keempat, mengenai kebijakan hilirisasi nikel. Pasca berlakunya UU No. 3 tahun 2020 pengganti UU No. 4 tahun 2009, terdapat 3 smelter nikel yang berproduksi di Sultra sebagai dampak kebijakan hilirisasi nikel yaitu PT Antam, Tbk, yang berada di Kabupaten Kolaka, jenis produk ferro nickel dengan kapasitas produksi 27.000 metrik ton per tahun. Selanjutnya, PT. Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) yang berada di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, jenis produk Nickel Pig Iron (NPI) dengan kapasitas produksi 1 juta metrik ton per tahun dan terakhir PT. Obsidian Stainless Steel ( OSS ) yang juga berada di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, jenis produk Nickel Pig Iron (NPI) dengan kapasitas produksi 2 – 3 juta metrik ton per tahun,”jelasnya.
Lanjutnya, kelima, kontribusi hilirisasi nikel terhadap devisa ekspor Sultra. Berdasarkan data kantor pengawasan dan pelayanan Bea dan Cukai Kendari, tercatat lima perusahaan besar di Sultra yang mendominasi devisa ekspor yaitu OSS, VDNI, aneka tambang, graha makmur cipta pratama (makanan laut), dan wijaya karya aspal.
“Secara umum nilai ekspor Sultra mulai Januari hingga 31 Agustus 2022 mengalami pertumbuhan yang positif dari target yang ditentukan, salah satunya disebabkan kegiatan ekspor Sultra itu sudah dapat dilakukan dari Pelabuhan Kendari langsung dengan beberapa negara tujuan. Capaian ekspor dan impor pada Agustus 2022 mengalami peningkatan 35 persen dan untuk ekspor masih di dominasi dari sektor pertambangan,”ungkap Gubernur.
Tidak hanya itu, pada seminar tersebut Ali Mazi juga memaparkan mengenai manfaat yang diperoleh Sulawesi Tenggara dari kegiatan hilirisasi nikel di wilayahnya, misalnya peningkatan PDRB, peningkatan dana bagi hasil PNBP, SDA pertambangan, peningkatan penerimaan dan retribusi daerah, penyerapan tenaga kerja, dan lain sebagainya.