Padahal disatu sisi, negara telah memberikan insentif yang cukup besar bagi pelaku usaha pertambangan atau industri pertambangan yang beroperasi di Indonesia, khususnya di Sultra mulai dengan Tax Holiday (Libur Pajak), penangguhan atau pembebasan bea masuk ke Kawasan Berikat, pembebasan bea keluar dan Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Jual beli Ore Nikel.
Menanggapi hal ini, Aksan Jaya Putra selaku Anggota DPRD Sultra yang juga menjadi narasumber dalam dialog publik elFata Institute dan Surveyor Indonesia dengan tema mendorong industri pertambangan yang inklusif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Sultra beberapa waktu lalu mengatakan bahwa ini butuh keseriusan pemerintah provinsi untuk mendorong optimalisasi PAD dari sektor pertambangan dan pengolahan ini.
“Jadi kalau kita bicara optimalisasi terkait dengan industri, sebenarnya ini kan, pemerintah harus betul-betul bisa memaksimalkan, apalagi beberapa kawasan Industri yang baru, ada di Kolaka, Kendari dan Konawe Utara (Konut),”ungkapnya saat diwawancara fajar.co.id.
Lanjutnya, kita bisa berkaca dengan PT. VDNI dan PT. OSS yang ada sekarang ini.
“Menurut saya tidak maksimal, karena mereka selalu merasa bahwa kami ini Proyek Strategis Nasional (PSN), yang notabene dibawah kendali Pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden, kan gitu,”
“Tapi perlu diingat, peran-peran pemerintah harus ada, saya juga beberapa kali menyampaikan ketika industri baru yang ada, peran kepala daerah itu penting,”jelasnya lagi.
Kata Aksan Anggota DPRD Sultra dari Partai Golkar ini, contoh ketika mereka (smelter) mulai membangun, kita (pemerintah provinsi) harusnya membuatkan pakta Integritas, terkait dengan kewajiban-kewajiban yang ada, sehingga kita tidak mengulangi kesalahan yang sama, seperti yang terjadi di Morosi.