“Kalau PAD Sultra, itu sekitar 1,6 Triliun rupiah, tapi kan sumbernya banyak, dan dari sisi pertambangan ini yang ingin kita maksimalkan. Saat ini dari sektor pertambangan, kita hanya DBH saja, palingpun itu Pajak Air Permukaan (PAP) saja yang kita harapkan, tapi kan PAP ini kan dia kategori merata, bukan hanya khusus tambang, semua yang air permukaan ada pajaknya, sehingga kita harus pikirkan, apalagi ketika industri ini jalan misalkan, bagaimana peran-peran pemerintah dalam kawasan industri ini harus ada,”bebernya lagi.
Terkait jumlah kawasan industri smelter di Sultra, kata Aksan itu ada di Kawasan Industri Kota Kendari ada di wilayah Nambo, tempatnya di Tondonggeu dan sekitarnya, itu sekitar 1.500 hektar, terus yang di Kolaka itu kan yang dibangun sama IPIP yang Pomalaa, yang Vale kerjasama Hua Yu, yang di Konawe Utara yang pernah peletakkan batu pertama di Motui.
“Adapun Routa, kayaknya mereka urus Kawasan Ekonomis Khusus (KEK), karena sana kan mereka besar sekali, saya belum tahu, sudah sampai mana progressnya okeh pemerintah Kabupaten Konawe, tapi yang tiga ini sudah terbit (izinnya),”
Kata Aksan yang pernah di komisi III DPRD Sultra yang membidangi pertambangan ini, bahwa kalau ini (peran pemerintah provinsi) dimaksimalkan misalkan, apalagi sekarang teknologi semakin canggih, ada namanya High Pressure Acid Leaching (HPAL), HPAL itu yang hidro, ini-ini sampai kadar rendah (nikel limonit) dia makan (dapat olah), bayangkan kalau kadar rendah, bisa terjual, sudah tidak ada lagi, sampah-sampah atau orang bilang OB (overburden atau lapisan batuan penutup) yang mulai dari kadar 0,8 hingga kadar 1,2 dimakan semua, sehingga kalau ini dia terjadi otomatis, harusnya kita bisa dapat tambahan PAD, tapi kalau peran pemerintah melalui kepala daerah tidak tegas, ya, susah.