Saat menangkap AP, polisi juga tanpa mengantongi surat perintah penangkapan dan penahanan. Hal ini merupakan kejanggalan dan pelanggaran prosedur kepolisian.
Di samping itu, tim kuasa hukum juga menemukan 2 berkas perkara penetapan tersangka terhadap AP berbeda, antara yang dikantongi Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan kuasa hukum serta majelis hakim.
Pertama, surat penetapan tersangka versi JPU tertanggal 29 Januari 2023, nomor angka tertulis dengan ketikan. Dokumen penetapan tersangka kedua, yang dipegang hakim yakni tertanggal 28 Januari 2023 dengan nomor angka tulis tangan.
Aqida menceritakan, dalam proses persidangan, Kanit PPA Satreskrim Polres Baubau, Aipda Mulyono Santoso membantah dirinya yang menyusun dokumen penetapan tersangka itu.
Mulyono menuding, dua surat itu dibuat Brigadir Rahmiyanti Ahmad, merupakan pemeriksa korban dan terdakwa. Namun, hal sebaliknya disampaikan Rahmiyanti. Keduanya pun terlihat saling tuding.
“Bu Rahmiyanti menyampaikan, saya juga tidak tahu, saya juga menyerahkan kepada pak Mulyono,” ujar Aqidah menirukan bahasa penyidik Rahmiyanti saat sidang pemeriksaan saksi verbal lisan.
Tak mau menyerah, tim kuasa hukum lantas kembali mencecar sejumlah pertanyaan penyidik terkait dua surat penetapan tersangka yang berbeda tersebut.
Aqida melihat, 2 surat penetapan tersangka itu merupakan kejanggalan, lantaran tidak pernah terjadi dalam proses penyidikan di kepolisian.
“Kami menanyakan, apakah ini sering terjadi di kepolisian. Mereka menjawab, biasanya kami punya satu berkas yang diserahkan kepada hakim, dari hakim itu kemudian di-copy (digandakan) oleh kejaksaan, penasihat hukum,” ucapnya.