Dibalik Kilau Nikel: Pulau Kabaena Hancur, Suku Bajau dan Suku Moronene Terlupakan

  • Bagikan

Suku Bajau yang Kehilangan

Laut bagi suku Bajau, yang sejak ratusan tahun hidup dari laut, pencemaran ini adalah pukulan telak. Air laut yang dulu mereka sebut rumah, air laut yang dulu jernih dan penuh ikan, kini berubah menjadi lumpur kecoklatan.

Limbah tambang mencemari laut, membunuh terumbu karang, dan membuat ikan pergi menjauh. Nelayan yang dulunya hanya perlu dua liter bahan bakar untuk membawa pulang 15 kilogram ikan, kini harus melaut jauh dengan sepuluh kali lipat
bahan bakar, hanya untuk mendapatkan dua sampai tiga kilogram ikan.

Suku Bajau tidak hanya kehilangan laut mereka, tapi juga kehilangan masa depan. Saat ikan tak lagi mendekat, banyak dari mereka terpaksa meninggalkan tradisi nelayan dan beralih menjadi buruh kasar di tambang nikel.

Pekerjaan ini bukanlah pilihan, melainkan satu-satunya jalan untuk bertahan hidup. Namun, pekerjaan ditambang pun tidak memberi harapan. Para pekerja dibayar rendah, tanpa jaminan kesehatan, dan bekerja dalam kondisi yang memprihatinkan.

“Saya menyerah menjadi nelayan, saya ditawari menjadi buruh bongkar-muat nikel, tetapi saya tidak digaji empat bulan. Istri anak saya butuh makan, akhirnya saya kembali menjadi nelayan. Setiap hari saya gatal-gatal, tetapi sama sekali tidak ada pemberian obat dan kompensasi apapun,” kata Anno (35 tahun), seorang nelayan.

Anak-anak Bajau yang dulunya dilatih menyelam sejak usia tiga tahun, kini tidak lagi diajarkan. Air laut yang tercemar membuat kulit mereka gatal dan luka. Lebih tragis lagi, tiga anak Bajau dilaporkan meninggal dunia akibat jatuh ke air yang keruh dan tidak bisa berenang karena mereka tak lagi diajarkan menyelam
.
“Kondisi ini sangat memprihatinkan, sebab secara tradisional turun-temurun sejak anak suku Bajau berusia tiga tahun mereka telah diajarkan untuk menyelam.

  • Bagikan