Dibalik Kilau Nikel: Pulau Kabaena Hancur, Suku Bajau dan Suku Moronene Terlupakan

  • Bagikan

Kedua, lemahnya perlindungan dan pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA). Ketiga, rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dibuat untuk kepentingan penguasa dan pengusaha.

“Perlu dipertimbangkan untuk rekomendasi, yakni perbaikan (revisi) regulasi tentang PSN, misal PP 42/2021; kewajiban melakukan Uji Tuntas HAM (HRDD) dan ESG bagi usaha pertambangan, serta penerapan prinsip Leave No One Behind-SDGs,”
kata Prabianto.

Menanggapi laporan ini, Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Mineral dan Batu Bara (Minerba), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rita Susilawati, mendukung apa yang dilakukan Satya Bumi dan WALHI Sultra.

“Kami biasanya menerima laporan dan menindaklanjutinya ke lapangan, apakah benar seperti itu,” kata Rita dalam kesempatan yang sama.

Rita menegaskan Ditjen Minerba terus mendorong terciptanya peningkatan kinerja kaidah teknik pertambangan oleh perusahaan pertambangan. Ia bilang sudah menjadi kewajiban bagi perusahaan pertambangan untuk menerapkan kaidah
pertambangan yang baik atau good mining practice.

Tambang dan Jaring Korupsi

Di balik kerusakan ekologis dan sosial ini, terdapat jaringan korupsi dan kekuasaan yang memperburuk situasi.

Sebanyak 10 dari 15 izin tambang di Kabaena
diterbitkan sebelum tahun 2012, ketika Nur Alam, mantan Gubernur Sultra, masih berkuasa.

Ia kemudian terbukti terlibat dalam kasus korupsi yang berkaitan dengan penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk perusahaan seperti PT AHB dan PT TMS. Jaringan politik dan pengaruh besar inilah yang menjadi alasan mengapa tambang-tambang ini terus beroperasi, meski melanggar aturan.

  • Bagikan