Akhirnya, pertemuan dengan Inspektorat tersebut tidak menghasilkan apa-apa.
Seharusnya, kata dia, temuan ORI soal mal administrasi jadi rujukan Kemendikbud dalam menentukan kasus plagiat.
Ditegaskannya, dari sudut pandang independensi, temuan tim adhock harus dipertanyakan. Bagaimana mungkin tim dibentuk sementara mereka adalah dosen aktif yang memiliki jabatan tugas tambahan, memeriksa seorang Rektor yang menjadi atasannya sendiri.
Seperti Ketua Tim ad hock adalah Prof. Weka Widayati yang menjabat Wakil Rektor II, Dr. Muliddin (Dekan FITK), Dr. Ida Usman (Dekan MIPA), Dr. La Aba (Ketua LPPM), DAN Prof. Edi Cahyono (Ketua LPSI). “Logikanya akan mempertanyakan independensi mereka dalam melakukan pemeriksaan,” pungkas Prof. La Rianda.
“Pernakah ada kasus misalnya, yang diperiksa adalah Kapolri, sedangkan yang memeriksa adalah bawahannya di instansi yang sama,”jelasnya.
Senat juga, lanjut Prof La Rianda, berdasarkan fakta di lapangan, saat rapat tanggal 9 Agustus 2019 juga ‘bermain’. Berdasarkan notulen rapat, agenda rapatnya yakni pemilihan Ketua Senat UHO periode 2019-2023.
“Tiba-tiba hasilnya justru di luar nalar, yakni hasil rapatnya menyatakan Rektor UHO tidak ada indikasi pada plagiatnya. Yang dibahas lain, yang keluar lain juga,” ungkapnya.
Dari hasil rekomendasi yang diduga bodong, setidaknya ada beberapa catatan tersendiri, pertama rekomenasi tersebut cacat produk. Dikarenakan dalam rapat senat tidak pernah mengambil keputusan untuk membuat rekomendasi terkait plagiasi, apalagi menyetujui atau menyepakati isi rekomendasinya.