“Mengenai penjabat, ini sebetulnya kita sudah diatur dalam mekanisme yang ada, UU Pilkada. Undang-Undangnya dibuat tahun 2016 dan salah satu amanahnya adalah Pilkada dilakukan bulan November, spesifik tahun 2024, supaya ada keserentakan,” kata Mendagri di hadapan awak media.
Mendagri menjelaskan, spirit dari pembuatan UU Nomor 10 Tahun 2016 yaitu pelaksanaan Pilkada Serentak pada tahun yang sama dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg).
Ini dilakukan agar penerapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) paralel dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Berdasarkan UU tersebut, ketika masa jabatan kepala daerah berakhir harus diisi dengan penjabat.
Penjabat yang dimaksud, untuk tingkat gubernur merupakan penjabat pimpinan tinggi madya, sedangkan untuk bupati/wali kota penjabat merupakan pimpinan tinggi pratama.
“Nah, selama ini praktik sudah kita lakukan, tiga kali paling tidak, 2017 Pilkada itu juga banyak penjabat dan kita lakukan dengan mekanisme UU itu, UU Pilkada dan UU ASN. Kemudian yang kedua tahun 2018 juga lebih dari 100, dan paling banyak tahun 2020 kemarin itu lebih dari 200 penjabat,” ujarnya.
Mendagri juga menegaskan, usulan pemilihan penjabat kepala daerah dari Kemendagri berdasarkan pada asas profesionalitas.
Kemendagri terus melakukan pengawasan karena adanya kemungkinan konflik kepentingan terkait pemilihan penjabat, apalagi menjelang tahun Pemilu. Pemilihan usulan penjabat dilakukan dengan melihat berbagai faktor, selain dari usulan gubernur.