Ia lalu menyampaikan, kalau ada bertanya, bagaimana (Restoratif Justice) di Indonesia?
“Sepertinya kita akan mengarah kepada Restoratif Justice dengan batasan ancaman pidana. Jadi tadi saya katakan, kalau ancaman pidana ini tidak lebih dari 5 tahun, maka tidak dijatuhi pidana penjara, tapi pidana pengawasan atau pidana kerja sosial. Sepertinya kita akan mengarah kepada angka ancaman pidana itu tidak lebih dari 5 tahun,”tuturnya.
Wamenkumham mengatakan tetapi sekali lagi, harus ada pandangan yang sama terkait restoratif justice. Restoratif justice ini harus dipandang bahwa perkara itu memenuhi unsur delik.
“Sekali lagi, restoratif justice itu harus dipandang bahwa perkara itu memenuhi unsur delik, sebab kalau tidak memenuhi unsur, tidak cukup bukti, maka bukan restoratif. Polisi berdasarkan pasal 109 KUHP menetapkan surat perintah penghentian penyidikan, atau Jaksa berdasarkan pasal 140an di KUHP itu, akan mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan,”jelasnya lagi.
Kata Prof. Eddy sapaan akrabnya, jadi restoratif justice itu, harus merupakan perkara yang memenuhi unsur delik artinya semua unsur terbukti, lalu kemudian dicari cara untuk tidak melalui proses peradilan.
“Artinya bapak Ibu, restoratif justice ini harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam sistem peradilan pidana, dan jangan lagi kita menyatakan bahwa restoratif justice berlaku hanya perkara, tidak !,”
“Restoratif justice itu, tidak berlaku penghentian perkara, tetapi restoratif justice itu merupakan bagian terintegrasi dari sistem peradilan pidana, yang akan memberi kepastian, baik kepada korban, dan terlebih kepada pelaku kejahatan, hal ini harus kita samakan,”tegasnya.