“Data dan fakta walaupun benar adanya, tapi logikanya tidak sehat, bisa diputar, bisa dibalik, bisa yang salah, jadi benar, dan yang benar jadi salah,”terangnya.
Kata Eggi, Itukan sudah dibuktikan ditingkat Pengadilan Tinggi atau banding. Paling tidak, unsur yang dimenangkan itu, tentu kegunaan dari logika yang berupa akal sehat itulah yang dipakai. Namanya common sense, jadi pengetahuan umum yang tidak bisa dibantah secara common sense. Apa pengetahuan umumnya? kembali kepada peristiwa hukumnya apa?. Kedua, datanya apa?, baru logika itu terbangun.
“Nah, sekarang siapapun, jika menerima peristiwanya itu, dan data-datanya seperti tadi yang diceritakan oleh Ibu Ika, logika harus mengatakan itu tidak benar atau paling tidak kurang cukup bukti, gitu loh,”ucapnya lagi.
Lebih lanjut Eggi mengatakan atau pertanyaan seriusnya, kenapa di hakim diputuskan menang?. Common sense atau logika secara umum juga mengatakan dengan kejanggalan yang seperti itu, lalu dimenangkan, itu pasti ada suap, pasti ada negosiasi, iming-iming dan lain sebagainya, yang merupakan tindak pidana kriminal, dalam kata besarnya namanya Korupsi, dengan berbagai jenisnya.
“Terus khusus untuk hakim, menurut Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hakim itu spesifik disebut sebagai penyelenggara negara, bersama dengan Presiden, Menteri dan Pejabat lainnya bersifat eksekutif itu, DPR RI, DPRD, Gubernur, Bupati, Wali Kota, itulah semua, itu adalah Penyelenggara Negara,”imbuhnya.
Eggi menambahkan dari empat kategori penegak hukum, satu, Hakim, dua, Jaksa, tiga, Polisi, dan empat, kami advokat.