Dibalik Kilau Nikel: Pulau Kabaena Hancur, Suku Bajau dan Suku Moronene Terlupakan

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID, BOMBANA – Pulau Kabaena, sebuah pulau kecil yang indah di Sulawesi Tenggara, kini berubah menjadi zona merah. Tak ada lagi laut biru yang memantulkan cahaya matahari, tak ada lagi terumbu karang yang melindungi ikan, dan tak ada lagi hutan hijau yang menjadi benteng alam. Hanya ada kepulan debu tambang, air laut yang keruh, dan suara mesin berat yang terus menggerogoti tanah.

Di balik ekspansi tambang nikel global yang menggemborkan era kendaraan listrik,
masyarakat adat suku Bajau yang menggantungkan hidup pada laut dan komunitas suku Moronene yang bergantung pada tanah, kini kehidupannya terancam.

Laporan terbaru yang dirilis oleh tim peneliti dari Satya Bumi dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tenggara (Sultra) menyoroti kerusakan lingkungan yang signifikan di Pulau Kabaena akibat eksploitasi nikel yang masif.

Laporan berjudul “Bagaimana Demam Nikel
Menghancurkan Pulau Kabaena dan Ruang Hidup Suku Bajau” mengungkap dampak destruktif dari industri tambang terhadap ekosistem pulau, kesehatan masyarakat, dan kelangsungan hidup tradisional suku Bajau dan Moronene.

Pulau ini, yang seharusnya dilindungi, kini terkepung oleh tambang nikel. Peneliti Satya Bumi, Sayiidattihayaa Afra, mencatat sekitar 73%, yaitu 650 km² dari 891 km² total luas Kabaena, telah diserahkan kepada perusahaan tambang.

Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang tambang di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km².

  • Bagikan