“UNGU adalah band yang posisinya sudah dewasa dalam konteks karya dan sudah melewati banyak fase dan cerita. UNGU juga merupakan band yang tidak pernah ditinggalkan oleh fansnya, Cliquers. Lalu, ada beberapa lagu religi di album ini karena kami tidak hanya dikenal sebagai band pop saja, tapi juga band religi dan ini adalah kesimpulan dari jati diri UNGU. Jadi, album terbaru kami ini menjelaskan itu semua, yakni kerinduan, kesabaran, dan kekuatan. Kami sudah rindu berat dengan industri ini. Kami rindu tampil di panggung, kami rindu pada Cliquers, dan kami rindu merilis karya. Ada sesuatu yang berbeda dan misterius di album ini. Saya merasa seperti kembali ke era kami merilis album “Demi Waktu”. Kami optimis album ini akan mendapat tempat di hati masyarakat,” jelas Pasha.
“Album self-titled ini dikonsepkan untuk mengobati kerinduan penggemar UNGU setelah mereka sudah lama sekali tidak merilis album penuh, yang mana terakhir adalah “Mosaik” di tahun 2015. Kenapa self-titled, karena UNGU sudah menjadi sebuah entitas yang besar di industri musik, bak sebuah brand. Rekam jejak UNGU dari mulai prestasi dan jumlah hits mereka tak terhitung, yang mana hal itu membuat UNGU menjadi salah satu legenda dari sejarah permusikan Indonesia. Mereka juga menjadi tonggak terkait perilisan lagu-lagu religi yang dilakukan sebuah band. Sesuai dengan artwork mereka yang mana menampilkan kursi director, kelima anggotanya sudah ada di fase itu dan sudah matang secara personal,” tutup Dwi Santoso, Head A&R (Music Production & Talent Scouting) Trinity Optima Production.