Tidak lama setelah peristiwa Kapal Rust en Werk, para pembesar Buton meminta Himayatuddin turun dari jabatannya. Namun sebelumnya, Himayatuddin mengadakan pertemuan secara rahasia dengan calon penggantinya, Hamim, menyangkut kelanjutan perjuangannya terhadap penguasaan Belanda.
Pada bulan September 1752, Hamim Sultan Sakiyuddin diangkat menjadi sultan yang ke-21 (memerintah: 1752-1759) menggantikan Himayatuddin.
Penggantian tersebut hanya tindakan untuk mengelabui mata Kompeni agar mencegah timbulnya pertentangan yang dapat menimbulkan penyerangan Kompeni atas Buton, kemudian apa saja yang menjadi tuntutan Kompeni wajib dipenuhi, sambil mengatur siasat selanjutnya (Zahari 1977 II: 118).
Ketika pasukan Belanda tiba di Buton, mereka tidak menemukan Himayatuddin lagi sebagai sultan, melainkan penggantinya.
Pada awal tahun 1753, dua kapal Belanda, Kaaskooper dan Carolina, dikirim dari Makassar ke Buton dipimpin Onderkoopman Johann Banelius bersama pasukan Kapiten Melayu, Abdul Kadir, serta pasukan Tanette dan Bima untuk menghukum pelaku perompakan kapal Rust en Werk.
Pemimpin perompakan, Frans Fransz, berhasil dibunuh oleh Kapiten Melayu, namun Benelius juga tewas di Pulau Kabaena (Zuhdi 1999: 149).
Oleh karena tuntutan ganti rugi belum dibayar oleh Buton, maka Kompeni menyodorkan perjanjian baru kepada Sultan Sakiyuddin mengenai ganti rugi yang harus segara dibayar kepada Belanda dalam waktu yang tidak lama.
Ganti rugi pertama berupa 71 orang budak serta sejumlah emas dan perak. Pada bulan Maret 1753, perutusan Buton membawa 22 orang pengikut Frans Franz. Hingga 25 Desember 1754, perutusan Buton membawa 80 orang budak.