Budak-budak yang dikirim oleh Sultan Buton terdiri dari orang tua yang berusia lanjut dan anak-anak di bawah umur yang tidak ada manfaatnya bagi Belanda (Zahari 1977 II: 122). Itu menambah beban pembiayaan yang harus dikeluarkan oleh Belanda. Untuk mengurangi biaya hidup mereka dan kemungkinan mati, maka Belanda menjual mereka di pelelangan umum.
Belanda mengancam akan menyerang Buton bila tidak segera melunasi utangnya, dan tidak akan diberitahukan lebih dahulu kepada Buton, malah semua akan dilakukan secara rahasia dan mendadak. Ancaman Belanda tersebut tak lepas dari laporan yang diberikan oleh Petzold yang menyatakan bahwa pihak Kesultanan Buton telah bersiap untuk perang dengan Belanda (Zahari 1977 II: 123).
Secara diam-diam perahu dan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Johan Casper Rijsweber tiba di Bantaeng pada 31 Januari 1755 dengan kapal pemburu Adriana dari Makassar.
Di antara kesatuan armada itu terdapat kapal Saamslag dan Ouwerkerk yang memuat tentara bantuan dari Jawa, serta tiga kapal kecil (chaloeppen): de Meerma, het Fortun, dan de Arnoldna.
Pada 19 Februari, Rijsweber meninggalkan Bulukumba menuju Buton dengan iringan tujuh armada kapal: (1) Huis te Mapad, (2) de Paarl (chaloep), (3) Glisgis (pancallang), (4) Triston (pancallang), (5) Outwerkerk, (6) de Meerim (chalorp), (7) het Fortuin (chalorp), dan (8) de Arnoldina (chalorp). Kapal tiba pada tanggal 23 Februari (Ligtvoet 1887: 77).
Sebelum kapal berlabuh, dilepaskan tembakan penghormatan (saluutschoten), tetapi tidak mendapat balasan dari darat.