Perlawanan terakhir dalam benteng keraton dipimpin oleh Himayatuddin. Namun setelah terdesak, dia juga mengambil keputusan mengundurkan diri bersama dengan keluarganya menyusul sultan ke Kaisabu, dan dari sana terus ke Siontapina melalui Galampa.
Seorang putri dan seorang cucu Himayatuddin, yakni Wa Ode Wakato dan Wa Ode Kamali, tidak sempat melarikan diri sehingga menjadi tawanan Rijsweber. Dan dalam ingatan kolektif masyarakat Buton, mereka dikenal dengan i lingkaakana walanda atau yang dibawa pergi oleh Belanda (Zahari 1977 II: 125-127).
Akibat perang tersebut timbul kerugian pada kedua belah pihak. Di pihak Belanda, satu orang mati, 39 orang hilang, dan 36 orang luka-luka ringan (Ligtvoet 1877: 79). Kapten de Jong mencatat 9 orang mati,
Sedangkan Zahari (1977 II: 128) mencatat 10 orang mati di antaranya beberapa ditikam oleh Himayatuddin. Kerugian di pihak Buton yang gugur ialah Sapati, Kapitalao, Bontoegena, Lakina Labalawa, Yarona Rakia, dan Lakina Tondanga serta dua orang yang ditawan yakni Wa Ode Wakato dan Wa Ode Kamali.
Dua kapal Belanda, Huis te Menpad dan Ouwerkerk, beberapa hari setelah peristiwa tersebut melanjutkan perjalanan ke Maluku. Sedangkan kapal-kapal yang lain dibawah pimpinan Rijsweber tinggal di Buton sampai 6 Mei 1755 dan tiba kembali di Makassar pada 11 Mei 1755 (Zahari 1977 II: 128).
Penyerangan Belanda ke Buton terungkap dalam kalimat berikut: waar van jongste oorlog expeditie naar Bouton artinya “di mana suatu ekspedisi perang yang terbaru dikirim ke Buton”.