*Mobinasana inda teyi poolina *
yang binasa tak ada yang didapatnya
Peristiwa di atas bagi Belanda adalah satu oorlog (perang), sedangkan Buton memandangnya zaman kekacauan (kaheruna) yang mengandung kesan paling traumatik dalam sejarah Buton.
Sesungguhnya, pasca perang itu, Belanda khawatir hubungan antara kedua belah pihak sulit dipulihkan. Pada bulan Maret 1756, Opperkoopman Sinkelaar dan Kapten Rijsweber berangkat ke Buton untuk membuat perjanjian baru dengan Sultan Buton, menyangkut tuntutan ganti rugi atas peristiwa kapal Rust en Werk dengan 1.000 orang budak.
Kedua pembesar Belanda tiba kembali di Makassar pada 30 April 1756 tanpa suatu hasil yang diharapkan Belanda.
Sultan Buton, lewat suratnya pada 9 September 1756, kepada Kompeni di Batavia menyampaikan keberatan atas tuntutan 1.000 orang budak. Pasalnya, Belanda belum lama berselang menyerang Buton yang mengakibatkan kehancuran Buton, terutama beberapa korban pembesar kesultanan akibat perang 1755 (Zahari 1977 II: 131-132; Zuhdi 1999: 156).
Dalam istana Buton sendiri terjadi konflik internal kerajaan hingga wafatnya Sultan Sakiyuddin pada 29 Agustus 1759, kemudian digantikan oleh Sultan Rafiuddin (1759-1760).
Sultan yang baru ini kembali menyampaikan keberatan kepada Kompeni di Batavia lewat perutusannya, La Ode Amiri Yarona Tangkeno, mengenai ganti rugi 1.000 orang budak.
Lebih kurang tujuh bulan menjabat sultan, Rafiuddin meninggal di Tobe-tobe. Dewan Kesultanan Buton kemudian memilih dan mengangkat kembali Himayatuddin sebagai sultan Buton ke-23 (masa jabatan kedua: 1760-1763), dengan pertimbangan utama bahwa dia mempunyai kekuatan di dalam masyarakat yang sangat menonjol dan menentukan.