“Dampaknya terhadap sumberdaya wilayah pesisir dan lautan sangat besar, baik menyangkut kehidupan organisme, kerusakan ekosistem penting seperti coral reef, padang lamun, dan hutan mangrove, kerusakan bangunan fisik serta infrastruktur di wilayah pesisir, dan lain-lain,” paparnya.
Lebih lanjut rektor ITK ini menerangkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui kebijakan Sustainable Development Goals (SDGs) diantaranya SDG-14 yang berkaitan dengan upaya pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan dan laut serta life below water atau ekosistem laut, merumuskan target spesifik seperti mengurangi dampak pencemaran laut, menghentikan praktik kegiatan perikanan yang merusak, mengelola ekosistem laut dan pesisir, dan menyediakan akses untuk nelayan skala kecil.
“Target ini menjadi arahan sekaligus kerangka kerja untuk pengelolaan sumber daya ikan dan laut yang lebih optimal agar sumberdaya di wilayah ini secara menyeluruh tetap berkelanjutan. Data pada tahun 2021 menunjukan bahwa kondisi laut dan perikanan di Indonesia termasuk memprihatinkan sebagaimana ditunjukan dengan skor Indeks Kesehatan Laut atau Ocean Health Index (OHI) yang rendah, yaitu hanya mencapai skor 65 sehingga Indonesia berada pada peringkat ke 137 dari 221 negara. Indikator kesehatan laut Indonesia yang rendah ini dapat dikelompokkan ke dalam 3 sektor, di antaranya ekologi, sosial-ekonomi, dan kebijakan-politik,” paparnya lagi.
Kata La Sara, mengantisipasi dampak lebih massif, lanjutnya, semua fenomena global tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis dan cepat dengan menyusun berbagai macam kebijakan nasional merumuskan peraturan perundang-undangan dalam rangka mengantisipasi dampak yang ditimbulkan perubahan iklim global tersebut.