Dibalik Kilau Nikel: Pulau Kabaena Hancur, Suku Bajau dan Suku Moronene Terlupakan

  • Bagikan

Karakteristik suku Bajau yang menggantungkan hidup di perairan laut membuat kemampuan menyelam ini sangat krusial bagi preservasi kehidupan,” kata Hayaa.

Tak hanya ekosistem yang hancur, tetapi juga ekonomi masyarakat Kabaena yang merosot tajam. Sebanyak 82% dari masyarakat yang diwawancarai melaporkan bahwa pendapatan mereka menurun drastis sejak tambang nikel beroperasi.

Para nelayan yang dulu menggantungkan hidup dari laut, kini terpaksa menjadi buruh kasar di tambang, dibayar rendah, dan bekerja tanpa jaminan kesehatan.

Komunitas suku Moronene yang dulu hidup dari perkebunan kacang mete dan kopi kini kehilangan lahan mereka. Tanaman di sekitar tambang menjadi tidak subur, memaksa mereka menjual tanah kepada perusahaan tambang.

Direktur Eksekutif WALHI Sultra, Andi Rahman, mengatakan Kebijakan percepatan transisi energi menyebabkan laju perubahan iklim, pelanggaran HAM dan rusaknya sumber penghidupan masyarakat lokal di Provinsi Sultra.

“Daerah ini tadinya penghasil ikan. Sekarang mereka tak makan ikan lagi karena takut tercemar,” kata Andi di Jakarta, Senin (9/9/2023).

Andi juga melaporkan peningkatan pelanggaran HAM di Kabaena. WALHI Sultra mencatat pada 2023, terdapat 32 warga lokal yang dilaporkan dan dua orang menjadi terdakwa.

“Saat kami mendampingi warga, ibu-ibu yang melakukan aksi mempertanyakan Amdal ternyata berakhir menjadi tersangka,” ujar Andi.

Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Mediasi Komnas HAM RI, Prabianto Mukti Wibowo, menyampaikan sejumlah catatan dari hasil penelitian tambang nikel di Pulau Kabaena. Pertama, tidak dijalankannya prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC).

  • Bagikan