FAJAR.CO.ID — Persamaan nasib dan cita-cita telah mendorong kerajaan Bone dan Buton menjalin hubungan kerja sama. Hal ini diawali ketika Arung Palakka bersama pengikutnya mengamankan diri ke Buton setelah terdesak oleh upaya ekspansi politik kerajaan Gowa pada awal abad ke-17.
Kekalahan Kerajaan Bone di Pasempe, menyebabkan Raja Bone La Tenriaji Tosenrima ditangkap bersama pembesar dan bangsawan yang turut dalam perang, termasuk keluarga Arung Palakka. Mereka diasingkan ke Kerajaan Siang (kini wilayah Pangkep) dan kemudian dipindahkan ke Kerajaan Gowa.
Ketika dalam pengasingan di Gowa, Arung Palakka sangat disenangi Karaeng Patingalloang karena berkepribadian yang kuat, cerdas, gagah dan simpatik. Karena itulah dia diangkat menjadi pembawa puang bagi Karaeng Pattingaloang.
Dalam lingkungan istana, Arung Palakka bebas bergaul dengan pemuda-pemuda bangsawan Gowa, termasuk Sultan Hasanuddin. Ia sendiri dalam lingkungan istana dikenal dengan nama Daeng Serang, nama yang diberikan oleh Karaeng Pattingaloang.
Ketika Arung Palakka memasuki masa dewasa (20 tahun) mulai pula timbul kesadaran akan harkat dan martabatnya sebagai bangsawan Bugis. Disadarinya kedudukan sekeluarga pada masa itu sebagai tawanan perang, yang pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan kedudukan budak, karena segala tindak tanduknya tidak lepas dari kontrol dan pengawasan kerajaan Gowa sebagai tuannya.
Terlebih lagi setelah jatuhnya benteng Panakukkang ketangan VOC pada tanggal 12 Juni 1660 yang membawa pengaruh yang sangat besar dalam menentukan nasib orang Bone selanjutnya. Dalam hal ini kerajaan Gowa terpaksa merubah kebijaksanaan politiknya terhadap tawanan perangnya.