Dalam kaitan ini pula Sultan Buton berkenan memberi perlindungan pada Arung Palakka untuk tinggal di Keraton Buton selama tiga tahun dan memberinya jabatan kehormatan sebagai Lakina Holimombo, sebuah daerah di Pasar Wajo.
Pengungsian Arung Palakka di Buton segera diikuti oleh orang-orang Bugis lainnya baik dari Bone maupun dari Soppeng. Dalam pengungsian itu terdapat beberapa orang bangsawan. Selain Arung Palakka sendiri yang menjadi pemimpin dari pengungsi itu, terdapat sembilan Arung Mattola dari Soppeng dan Bone, diantaranya yang terkenal adalah Arung Bila, Arung Appanang, Arung Pattojo, Arung Belo dan Arung Kaju.
Setelah Sultan Hasanuddin mendengar kabar bahwa Arung Palakka telah mengungsi ke Buton ia segera pula mengirimkan utusannya ke Buton untuk mencari informasi yang jelas apakah benar Arung Palakka berada di Buton.
Setibanya utusan Sultan Hasanuddin di Buton, mereka segera menghubungi Sultan La Awu tentang perihal keberadaan Arung Palakka berada di Atas Tanah Buton.
Arung Palakka ketika itu disembunyikan dalam satu lubang rahasia di bawah tanah, maka ia dalam sejarah Buton dikenal dengan nama “La Toondu”.
Sumber lain menyebutkan bahwa Arung Palakka di bawah mihrab Masjid Buton. Arung Palakka disembunyikan melalui pintu gerbang keraton yang dinamakan “Lawakepabumi” yang artinya pintu gerbang yang menyembunyikan.
Kerjasama antara Kerajaan Bone dengan Buton dalam abad ke-17 telah membawa akibat yang sangat luas, baik terhadap Bone maupun Buton. Setelah Perjanjian Bungaya (18 September 1667), disusul kemudian dikuasainya Benteng Sombaopu (24 Juni 1669) yang menandai kekalahan kerajaan Gowa. Hal ini telah membawa pengaruh yang besar bagi Kerajaan Bone yang bukan hanya mengantarnya mencapai kemerdekaan tetapi juga mengantar dapat memegang supremasi di Sulawesi Selatan.