Kata pakar Kebudayaan Tolaki ini, bahwa kegiatan dialog atau pertemuan-pertemuan ini harus dilaksanakan secara intensif, sekaligus dapat kita gunakan untuk bagaimana kita memetakan potensi-potensi konflik yang ada supaya tidak terjadi, termasuk mencari solusinya penyelesaiannya dalam hal ini win-win solution.
“Selain itu perlu juga ada program-program literasi tentang budaya-budaya yang bisa menyatukan yang diambil dari konsep-konsep kebudayaan 4 pilar Sulawesi Tenggara (Tolaki, Moronene, Buton dan Muna) kita gali dengan baik,” kata Basrin.
Kata Basrin Melamba menambahkan, misalnya ada living harmoni yang ada di Kabupaten Bombana yang disebut dengan Tanduale (Sumpah Adat) antara dua etnik yakni masyarakat pribumi dan pendatang, dimana mereka bersumpah tidak akan konflik, dan apabila mereka konflik itu ada sanksi adat, dan ini kemudian sampai saat ini masih ditaati khususnya di Kabupaten Bombana. Dan ini adalah konsep yang baik.
“Kemudian, dalam masyarakat Tolaki ada konsep-konsep persaudaraan (Meohai), Konsep saling ingat – mengingatkan (Mbombeka pehawa-hawa ako), kemudian konsep saling sayang – menyayangi (Mbombeka meri-meri ako), itu konsep-konsep lokal bisa menjadi sebuah konsep memelihara toleransi,” ujarnya.
Lalu katanya lagi, selain itu ada juga konsep-konsep bagaimana kita bisa menyatukan persepsi yakni konsep ‘Aso Mbona’, bagaimana kita satu sikap dalam menciptakan keharmonisan, satu pendapat.
“Jadi kedepan untuk mencegah konflik, kita harus banyak-banyak memberikan penyadaran, memberikan pemahaman, mengintensifkan pertemuan antar lembaga-lembaga adat antar tercipta interaksi antar etnik satu dengan yang lain, apalagi di Kota Kendari sudah banyak terjadi pernikahan silang antar etnik,” harapnya.