Ia juga menambahkan bahwa Pembangunan bendungan Ladongi semua sopir-sopir lokal, jadi kalau sopir-sopir ini dibunuh, otomatis misalnya terhenti akibat kebijakan ini, karena tidak ada pendekatan komunikasi, saya pikir ini suatu musibah terbesar yang terjadi di provinsi Sultra.
“Kalau pertimbangan banyaknya jalan yang rusak akibat dari banyak mobil yang over Dimension dan Ovel Loading (ODOL), itu mobil-mobil atau sopir-sopir di Sultra itu, itu mereka memiliki mobil itu 6 roda, dan 6 roda itu, kalaupun dipaksa muatannya paling 12 ton, berarti beban yang ditimbulkan mobil masyarakat itu, hanya kapasitas 12 ton, sementara kalau kita mau bicara kapasitas muatan, ada mobil yang lebih besar itu, yang hari pulang balik melewati jalanan Kota Kendari, misalnya mobil SPBU yang muatannya ada yang sampai 15 kl atau 15 ton, mobil PT Bosowa, mobil PT Nindya Beton, itu kan mobil-mobil yang kapasitas 15 ton, jadi kalau misalnya pertimbangan konstruksi jalan, saya pikir itu tidak layak disematkan pada sopir truk 6 roda,”kilahnya.
Ia juga menuding ada diskriminasi dalam penindakan ODOL ini, kenapa saya katakan terlihat jelas karena kebijakan ini monoton menyasar mobil-mobil masyarakat kecil, bukan mobil-mobil perusahaan besar, kaya Bosowa misalnya.
“Persoalan jumlah ODOL dari truk yang lebih banyak, saya pikir itu soal relatif, artinya jumlah itu, masyarakat ini berusaha tergantung melihat potensi perkembangan daerah, dan perkembangan daerah ini memungkinkan masyarakat untuk mengambil alih, masyarakat memiliki kecakapan melihat potensi usaha, jadi peningkatan jumlah itu, bukan karena masyarakat, tapi karena daerahnya yang butuh pembangunan yang luar biasa,”tandasnya.