Di tengah situasi konflik internal dan ancaman kekuasaan Belanda, kehadiran Himayatuddin sangat penting.
Pengangkatannya disampaikan kepada Belanda di Makassar, dengan surat tanggal 14 Oktober 1760 (Ligtvoet 1877: 82).
Dalam surat tersebut, Dewan Kesultanan menyampaikan bahwa Himayatuddin sudah bersedia mematuhi perjanjian dan kiranya persoalan yang lalu dianggap sudah selesai.
Ternyata Himayatuddin tetap bersikap seperti semula, yakni tidak bersedia untuk bekerjasama dengan Belanda (Zahari II: 136).
Dia telah rela melepaskan singgasananya dalam pertengahan tahun 1763 demi untuk memperjuangkan kebebasan Buton dari kekuasaan Belanda (Zuhdi dan Effendy 2015: 91).
Jabatan (sultan) bukan satu-satunya alasan bagi Himayatuddin untuk melawan Belanda, melainkan kebebasan bangsanya dari belenggu kekuasaan Kompeni.
Dengan prinsip itu, dia melanjutkan perjuangannya dengan taktik gerilya. Bersama dengan para pengikutnya, Himayatuddin meninggalkan benteng keraton lewat Lawana Burekene menuju Baadia.
Ditemani Lakina Baadia, dia bersama pasukannya menuju benteng Sorawolio untuk mengungsi sementara, kemudian melanjutkan perjalanan ke Wakaokili.
Dalam perjalanan gerilya, Himayatuddin bertemu para petinggi Kesultanan Buton dan menyusun strategi perlawanan. Dia membangun pertahanan di Katapi bersama 40 pengikutnya.
Dari Katapi, Himayatuddin pindah ke Wakaisua dan membangun benteng di sana. Menghadapi serangan pasukan Belanda, dia pindah lagi ke kawasan belantara Lakasuba.
Dari sini Himayatuddin merumuskan pola pertahanan baru, dikenal dengan “perang rakyat semesta”, yang dibagi atas tiga unit pasukan reaksi cepat Sambo-samboekea:(1) wilayah Kamaru meliputi Lasalimu, (2) Pasar Wajo, dan (3) Sampolawa (Zuhdi dan Effendy 2015: 93).