Hanung pun merasa bingung harus berbuat apa dan mengadu ke siapa. Pemerintah tengah sibuk tanggulangi Covid-19, menggalakkan vaksinasi dan membenahi ekonomi. Belum lagi bencana alam terus menerus terjadi. Industri film diacuhkan.
“Mau minta tolong ke siapa? Pemerintah? Ntar malah dijawab : ntar yee, urus vaksin aja blom beres. Masalah Banjir juga blon kelar. Tuh di Papua udah mulai ngajak merdeka tuh. Udah deh, Nonton film di Hp aja dulu. Ato cari hiburan lainnya. Main catur gitu? Sabar yee??” gumamnya.
Alhasil, tidak ada tempat untuk meminta pertolongan selain pada diri sendiri. Lantas bagaimana caranya agar bisa tetap produksi film? Hanung menyarankan bikin film harus ditekan biaya produksinya dengan budget Rp 2,5 miliar saja.
“Penonton film Nasional kan cuma 230 ribu. Harga tiket 35 ribu. Hasilnya dibagi 20% pajak, 40% bioskop dan 40% pemilik film. Total yang diterima producer: Rp3,2M. Kalo mau untung, bikin film dengan bujet 2,5M aja. Bisa gak? Ya harus bisa. Trus crewnya gimana? Pemainnya gimana? Yaa cari sambil terus berdoa, biar ada crew dan pemain2 bintang yang mau dibayar murah,” kata Hanung, pasrah. (endra/fajar)